1160CE89
IQPlus, (6/10) - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan bahwa dunia berada di ambang resesi dan negara-negara berkembang seperti di Asia dapat menanggung bebannya. Kondisi itu patut diwaspadai dan perlu diantisipasi sedini mungkin guna mencegah risiko yang lebih parah.
"Kebijakan moneter dan fiskal di negara maju -termasuk kenaikan suku bunga yang berkelanjutan- dapat mendorong dunia menuju resesi dan stagnasi global," ungkap Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), dilansir dari CNBC International, Kamis, 6 Oktober 2022.
UNCTAD memperingatkan dalam Laporan Perdagangan dan Pembangunan 2022 bahwa perlambatan global berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih buruk daripada krisis keuangan pada 2008 dan guncangan covid-19 pada 2020.
"Semua wilayah akan terpengaruh, tetapi bel alarm paling sering berbunyi untuk negara-negara berkembang. Banyak di antaranya mendekati default utang," kata laporan itu.
UNCTAD mengatakan ekonomi Asia dan global menuju resesi jika bank sentral terus menaikkan suku bunga tanpa menggunakan alat lain. Bahkan, tambahnya, soft landing yang diinginkan tidak mungkin terjadi.
"Hari ini kita perlu memperingatkan bahwa kita mungkin berada di tepi resesi global yang disebabkan oleh kebijakan. Kami masih punya waktu untuk mundur dari tepi resesi. Tidak ada yang tak terelakkan. Kita harus mengubah arah," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan.
"Kami kemudian menyerukan campuran kebijakan yang lebih pragmatis. Kita juga perlu melakukan upaya yang lebih besar untuk mengakhiri spekulasi harga komoditas," tambahnya.
Laporan UNCTAD menyebutkan prognosisnya suram di seluruh wilayah. Kenaikan suku bunga tahun ini di AS akan memangkas sekitar USD360 miliar pendapatan masa depan untuk negara-negara berkembang tidak termasuk Tiongkok. Sementara aliran modal bersih ke negara-negara berkembang telah berubah menjadi negatif.
"Di internet, negara-negara berkembang sekarang membiayai negara-negara maju. Kenaikan suku bunga oleh negara-negara maju adalah yang paling rentan. Sekitar 90 negara berkembang telah melihat mata uang mereka melemah terhadap dolar tahun ini," pungkasnya. (end/ba)