12144741
IQPlus, (1/8) - Tim Analis Bareksa, super apps investasi terintegrasi pertama di Indonesia, memperkirakan prospek reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi dan pasar uang bisa menjadi pilihan diversifikasi investasi yang tepat di tengah fluktuasi pasar modal dan ketidakpastian global masih tinggi di semester II 2022 ini.
Mencorongnya prospek dua jenis reksadana tersebut telah mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat sebesar 2.25% sepanjang tahun ini ke level 2,25-2,5%. Angka itu diproyeksikan akan memengaruhi kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia.
"Jika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya, maka harga Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih sensitif terhadap isu makro ekonomi dikhawatirkan akan terdampak dan mengalami pelemahan," ungkap Chief Operation Officer Bareksa, Ni Putu Kurniasari dalam keterangannya, Senin (1/8/2022).
Oleh karena itu, menurut Putu, potensi reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi lebih menarik dibandingkan jenis reksa dana berbasis SBN. Selain itu kenaikan suku bunga acuan bisa memacu kinerja reksa dana pasar uang sehingga reksa dana pasar uang dapat menjadi pertimbangan investor.
Tim Analis Bareksa yang beranggotakan Christian Halim (Head of Investment), Sigma Kinasih (Market & Funds Analyst) dan Ariyanto Dipo Sucahyo (Investment Analyst) memperkirakan pergerakan pasar modal pada semester II tahun 2022 ini masih fluktuatif hingga akhir kuartal III. Pasalnya investor global masih mencermati efek kenaikan suku bunga Dolar yang agresif serta perlambatan ekonomi dunia yang berpotensi terjadi lebih cepat dari perkiraan.
Putu menjelaskan kebijakan Bank Sentral AS tersebut diambil untuk meredam lonjakan inflasi yang disebabkan oleh meroketnya harga pangan dan energi serta kelangkaan barang yang terjadi akibat terlalu cepatnya pemulihan ekonomi namun tidak diimbangi dengan pemulihan rantai pasokan barang yang cepat pula.
Tim Analis Bareksa memprediksi ke depannya harga pangan dan energi akan kembali turun ke level normal seperti saat sebelum masa pandemi, kecuali harga batu bara karena embargo Eropa terhadap batubara asal Rusia. Harga batu bara di semester II 2022 diproyeksikan masih berada di kisaran US$350 hingga US$400 per ton.
Analisis Bareksa memproyeksikan Indonesia masih akan mengalami surplus neraca berjalan (Current Account) sekitar 0,7-1,2% dari PDB tahun ini. Selain itu Bank Indonesia juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4% di akhir 2022 dari level saat ini 3,5 persen. Prediksi itu mempertimbangkan ekspektasi inflasi Indonesia tidak melampaui angka 5% secara tahunan pada tahun ini.
Melihat data tersebut, prospek reksa dana saham dan reksa dana indeks juga masih menarik hingga akhir tahun terutama reksadana yang berbasis saham berkapitalisasi besar (big caps) yang bergerak di sektor keuangan dan infrastruktur. Sebab saat terjadi fenomena window dressing jelang akhir tahun, sektor tersebut akan diburu investor terlebih dahulu.
"Investor dapat menikmati potensi imbal hasil yang lebih optimal di dua reksa dana tersebut dengan target Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 7.200 - 7.400 hingga akhir tahun," Putu menjelaskan.
Investor dapat mempertimbangkan untuk akumulasi secara bertahap di reksa dana saham dan reksa dana indeks, jika pasar saham (IHSG) mengalami penurunan ke kisaran level 6.500 - 6.700. Namun untuk saat ini, guna mengantisipasi dampak lonjakan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga, investor dapat mendiversifikasi investasinya di reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi.
Kinerja Reksa Dana di Semester I 2022
Sebagai catatan, kinerja reksa dana saham yang tercermin dari indeks reksa dana saham Bareksa tercatat turun 0,15% sepanjang semester I 2022. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya risiko global terutama akibat kebijakan pengetatan moneter AS.
Namun, menurut Putu, terdapat sejumlah reksa dana saham dan reksa dana indeks yang sanggup mencatatkan kenaikan dalam periode tersebut, yang utamanya ditopang oleh sektor energi yang melesat hingga 43%. Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan lonjakan harga komoditas energi seperti minyak mentah dan batu bara.
"Hal ini justru menciptakan surplus neraca perdagangan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor komoditas energi dunia serta meningkatkan kinerja saham produsen komoditas. Sektor energi telah meroket 43,7% sepanjang semester I 2022," Putu memaparkan.
Putu menambahkan dengan mempertimbangkan fluktuasi pasar dan ketidakpastian global yang cukup tinggi, maka investor disarankan sebaiknya mencermati reksa dana saham berbasis big cap. "Sektor ini masih memiliki peluang pertumbuhan positif di semester II 2022," ujarnya.
Adapun untuk kinerja reksa dana pendapatan tetap yang tercermin dari indeks reksa dana pendapatan tetap Bareksa sepanjang semester I 2022 juga mencatat kinerja negatif 1,03% yang diakibatkan pelemahan harga SBN. Meski begitu, untuk reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi justru menorehkan kinerja positif. Hal ini bisa terjadi karena fluktuasi harga obligasi korporasi umumnya cenderung lebih rendah daripada SBN.
Terakhir, indeks reksa dana pasar uang Bareksa masih mencatat kinerja positif sekitar 0,96% di semester I 2022. Dengan karakter risiko terendah dibandingkan reksa dana jenis lainnya, umumnya kinerja imbal hasil reksa dana ini juga tergolong rendah. Karena itu, reksa dana pasar uang cocok jadi pilihan investasi atau diversifikasi, saat pasar saham dan obligasi sedang bergejolak. (end)