16334272
IQPlus, (13/6) - Bank Indonesia (BI) mengambil langkah strategis dengan memangkas suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50% pada Rapat Dewan Gubernur 20-21 Mei 2025. Keputusan ini dinilai tepat mengingat dilakukan di saat gejolak pasar terkait perang dagang global mulai mereda, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tanda-tanda perlambatan ekonomi domestik.
Senior Economist PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Emil Muhamad, mengatakan bahwa kekahawatiran akan memanasnya perang dagang sudah mulai mereda. Ini waktu yang tepat bagi Bank Sentral di seluruh dunia, tidak hanya Indonesia, untuk melonggarkan kebijakan monetarnya, karena ini adalah second line of defense untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Hal lain yang lebih penting adalah kesepakatan dagang kita dengan Amerika itu harus bagus, kita harus bisa mendapatkan deals terbaik, tapi di dalam negeri juga kita harus memberikan environment yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pelonggaran moneter BI merupakan respons terhadap risiko perlambatan ekonomi yang dinilai lebih besar dibandingkan risiko inflasi. Inflasi domestik yang terkendali di level 1,6% pada Mei 2025, didukung oleh panen komoditas pangan yang baik, memberikan ruang bagi BI untuk fokus pada pertumbuhan. Langkah ini juga selaras dengan meredanya ketegangan perang dagang global.
Lebih lanjut, laju pertumbuhan kredit perbankan, yang merupakan salah satu indikator pertumbuhan, mulai melambat. Merujuk pada data Bank Indonesia, pertumbuhan kredit per April 2025 melambat ke 8,5%, mendekati batas bawah target BI di tahun ini sebesar 8-11%. Ditambah Loan to Deposit Ratio (LDR) yang mencapai 90%, menyebabkan biaya dana perbankan meningkat dan suku bunga pinjaman sulit turun.
"Kebijakan pro growth melalui pelonggaran yang dilakukan BI tidak hanya berfokus ada penurunan suku bunga, kebijakan moneter lain seperti kebijakan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan pembelian obligasi juga dimanfaatkan untuk meningkatkan likuiditas pasar. Rasio PLM yang sempat mencapai 6% selama pandemi Covid-19 telah diturunkan menjadi 5% pada 2023 dan kini turun menjadi 4%, memungkinkan bank untuk memiliki lebih banyak dana untuk penyaluran kredit," ujar Emil.
Namun, dampak kebijakan moneter ini membutuhkan waktu untuk terasa di sektor riil. Kebijakan PLM baru mulai berlaku pada Juni 2025 dan transmisi penurunan suku bunga biasanya memerlukan 6-12 bulan untuk berdampak penuh. Untuk itu, BI dipandang masih memiliki ruang untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga, dengan potensi penurunan tambahan dalam satu hingga dua bulan ke depan.
"Meskipun terdapat peluang untuk pelonggaran moneter lebih lanjut, BI diperkirakan tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga secara beruntun, misalnya pada Juni 2025, untuk menghindari sinyal yang salah bahwa perekonomian dalam kondisi tertekan. Peluang penurunan suku bunga pada Juni 2025 dinilai masih di bawah 50%, tetapi dapat meningkat jika stabilitas rupiah terjaga dan arus masuk modal asing kembali ke pasar obligasi dan saham," tambah Emil.
Peluang Investasi
Kebijakan pelonggaran moneter BI memiliki implikasi positif terhadap berbagai kelas aset. Pasar saham, khususnya sektor perbankan dan keuangan yang mendominasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), akan mendapat manfaat dari likuiditas yang lebih longgar dan potensi ekspansi kredit. Sektor properti juga diperkirakan akan diuntungkan oleh penurunan suku bunga. Di kondisi seperti saat ini, saham menawarkan peluang investasi berbasis pertumbuhan (growth-seeking) yang lebih menarik dibandingkan kelas aset lain.
Sementara pasar obligasi, terutama Surat Berharga Negara (SBN) tenor pendek, akan mengalami dampak positif dari penurunan suku bunga, meskipun potensi kenaikan yang terbatas karena SBN telah mengalami penguatan (rally), mencatatkan return sekitar 4.3% secara year-to-date. Meski, kenaikan yield obligasi global, seperti di Jepang dan Inggris, dapat menjadi tantangan.
"Untuk kelas aset di pasar uang, dengan penurunan suku bunga BI dan SRBI, ekspektasi imbal hasil di pasar uang, termasuk deposito, akan menurun pada 2025 dibandingkan 2024. Pasar uang lebih cocok untuk strategi defensif (parking) ketimbang mencari imbal hasil tinggi," uangkapnya.
Ke depan, BI diperkirakan akan melanjutkan pelonggaran moneter secara bertahap. Selain pemangkasan suku bunga, pengurangan PLM dan GWM, serta pengelolaan SRBI, akan menjadi kunci untuk meningkatkan likuiditas. Langkah ini diharapkan mempercepat pemulihan pertumbuhan kredit ke level double-digit.
"Kebijakan BI ini juga mendapat dukungan dari kondisi domestik yang kondusif. Inflasi yang rendah dan Rupiah yang mulai stabil memberikan ruang fiskal dan moneter untuk fokus pada pertumbuhan. Hal ini memperkuat posisi Indonesia di tengah ketidakpastian global," tutup Emil. (end)