31230263
IQPlus, (9/11) - Harga minyak turun lebih dari 2 persen pada hari Rabu ke level terendah dalam lebih dari tiga bulan di tengah kekhawatiran berkurangnya permintaan di AS dan Tiongkok.
Minyak mentah berjangka Brent turun US$2,07, atau 2,5 persen, menjadi US$79,54 per barel. Minyak mentah AS kehilangan US$2,04, atau 2,6 persen, menjadi US$75,33. Kedua tolok ukur tersebut mencapai titik terendah sejak pertengahan Juli.
"Pasar jelas kurang khawatir terhadap potensi gangguan pasokan di Timur Tengah dan malah fokus pada pelonggaran keseimbangan," kata analis ING Warren Patterson dan Ewa Manthey dalam sebuah catatan kepada kliennya, mengacu pada kondisi pasokan minyak mentah.
Yang juga membebani harga adalah stok minyak mentah AS yang naik hampir 12 juta barel pada pekan lalu, kata sumber pasar pada Selasa malam, mengutip angka dari American Petroleum Institute.
Jika terkonfirmasi, itu akan menjadi peningkatan terbesar sejak bulan Februari. Namun, Badan Informasi Energi AS (EIA) telah menunda rilis data persediaan minyak mingguan, biasanya pada hari Rabu, hingga tanggal 15 November untuk menyelesaikan peningkatan sistem.
Produksi minyak mentah AS akan meningkat tahun ini sedikit lebih rendah dari perkiraan namun konsumsi minyak bumi akan turun sebesar 300.000 barel per hari (bpd), kata EIA pada hari Selasa, membalikkan perkiraan sebelumnya yaitu kenaikan sebesar 100.000 barel per hari.
Data dari Tiongkok, importir minyak mentah terbesar di dunia, menunjukkan total ekspor barang dan jasa mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan, sehingga menambah kekhawatiran terhadap prospek permintaan energi.
Di zona euro, data yang menunjukkan penurunan penjualan ritel juga menyoroti lemahnya permintaan konsumen dan prospek resesi.
"Penurunan harga yang kita lihat mencerminkan dua hal: kekhawatiran terhadap perekonomian global yang mengalami hambatan berdasarkan data dari Tiongkok dan juga rasa percaya diri bahwa perang di Israel dan Jalur Gaza tidak akan berdampak pada pasokan. ," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group. (end/Reuters)