70092844
IQPlus, (28/9) - Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan pertumbuhan ekonomi global melambat lebih dari yang diperkirakan beberapa bulan lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina. Hal itu terjadi karena krisis energi dan risiko inflasi membawa negara-negara ekonomi utama masuk ke dalam resesi.
"Sementara pertumbuhan ekonomi global tahun ini masih diperkirakan sebesar 3,0 persen, sekarang diproyeksikan melambat menjadi 2,2 persen pada 2023, direvisi turun dari perkiraan pada Juni sebesar 2,8 persen," kata OECD, dilansir dari Channel News Asia, Rabu, 28 September 2022.
Forum kebijakan yang berbasis di Paris sangat pesimistis tentang prospek di Eropa -ekonomi yang paling terkena dampak langsung dari perang Rusia di Ukraina. Produksi global tahun depan sekarang diproyeksikan menjadi USD2,8 triliun lebih rendah dari perkiraan OECD sebelum Rusia menyerang Ukraina.
"Ekonomi global telah kehilangan momentum setelah perang Rusia yang tidak beralasan, tidak dapat dibenarkan, dan ilegal terhadap Ukraina. Pertumbuhan PDB telah terhenti di banyak ekonomi dan indikator ekonomi menunjukkan perlambatan yang berkepanjangan," kata Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann.
OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi zona euro akan melambat dari 3,1 persen tahun ini menjadi hanya 0,3 persen pada 2023, yang menyiratkan 19 negara blok mata uang bersama akan menghabiskan setidaknya sebagian tahun ini dalam resesi, yang didefinisikan sebagai dua kuartal berturut-turut kontraksi.
Kondisi itu menandai penurunan dramatis dari prospek ekonomi terakhir OECD pada Juni, ketika memperkirakan ekonomi zona euro akan tumbuh 1,6 persen tahun depan. Kemudian OECD memandang ekonomi Jerman suram yang bergantung pada gas Rusia, memperkirakan berkontraksi 0,7 persen tahun depan, dipangkas dari perkiraan Juni untuk pertumbuhan 1,7 persen.
OECD memperingatkan bahwa gangguan lebih lanjut pada pasokan energi akan memukul pertumbuhan dan meningkatkan inflasi, terutama di Eropa di mana mereka dapat menurunkan aktivitas kembali 1,25 poin persentase dan meningkatkan inflasi sebesar 1,5 poin persentase. Kondisi itu mendorong banyak negara ke dalam resesi selama setahun penuh di 2023.
"Kebijakan moneter perlu terus diperketat di sebagian besar ekonomi utama untuk menjinakkan inflasi secara tahan lama," kata Cormann.
Ia menambahkan bahwa stimulus fiskal yang ditargetkan dari pemerintah juga merupakan kunci untuk memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis. "Sangat penting bahwa kebijakan moneter dan fiskal berjalan beriringan," pungkasnya. (end/ba)